Yang
dimaksud dengan badal haji adalah kegiatan menghajikan orang yang telah
meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang yang sudah tak mampu
melaksanakannya (secara fisik) disebabkan oleh suatu udzur, seperti
sakit yang tak ada harapan sembuh.
Semua ulama sepakat bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu[1], sekali dalam seumur hidupnya[2]. Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya melaksanakan badal haji.
Mayoritas ulama memperbolehkan badal haji atau dalam istilah fiqihnya al-hajj ‘an al-ghair.
Di antara ulama empat madzhab yang memperbolehkan badal haji adalah
Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Hanya Imam Maliki yang tidak
memperbolehkannya, kecuali kepada orang yang sebelum wafatnya sempat
berwasiat agar dihajikan. Ini pun dengan harta peninggalannya sejauh
tidak melebihi sepertiganya.[3]
Alasan
ulama yang tidak memperbolehkan badal haji adalah bahwasanya haji itu
hanya diwajibkan kepada orang Islam yang mampu, baik fisik maupun
keuangan. Jadi, kalau ada orang yang sakit atau lemah secara fisik maka
ia dianggap orang yang tidak mampu, karena itu ia tidak berkewajiban
haji. Demikian juga orang yang telah wafat, ia dianggap sudah tidak
berkewajiban untuk haji. Karena itu orang yang lemah secara fisik hingga
tidak kuat untuk berhaji apalagi orang yang sudah wafat, maka kepada
orang tersebut tidak perlu dilakukan badal haji. Orang ini dipandang telah gugur kewajiban hajinya[4].
Adapun alasan ulama yang memperbolehkan badal haji adalah berdasarkan kepada beberapa hadis berikut ini:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ
فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ
بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».
1. Hadist riwayat Ibnu Abbas dari al-Fadl: "Seorang
perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai
Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak
mampu lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!" (H.R. Bukhari, Muslim dll.).
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ
جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى
نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ ، فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ . حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى
أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ ، فَاللَّهُ أَحَقُّ
بِالْوَفَاءِ »
2.
Hadist riwayat Ibnu Abbas ra: " Seorang perempuan dari bani Juhainah
datang kepada Nabi s.a.w., ia bertanya: "Wahai Nabi Saw, Ibuku pernah
bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal
padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa
menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya, hajikanlah untuknya, kalau
ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari & Nasa'i).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ :مَنْ
شُبْرُمَةَ. قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ
نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ
شُبْرُمَةَ ».
3. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubrumah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanMu ya Allah, untuk Syubrumah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubrumah?". "Dia saudaraku, wahai
Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?"
Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu
berhajilah untuk Syubrumah", lanjut Rasulullah. (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain). Syekh al-Albani menilai hadis ini shahih[5].
Berdasarkan
beberapa hadis tersebut, mayoritas ulama membenarkan adanya syariat
badal haji, dengan syarat orang yang melaksanakan badal haji sudah
terlebih dahulu melaksanakan haji untuk dirinya sendiri.
Argumentasi ulama yang tidak memperbolehkan badal haji:
1. Ibadah
haji itu, sungguhpun terdiri dari dua macam yaitu ibadah fisik dan
ibadah harta, namun unsur fisiknya lebih dominan. Karena itu ibadah haji
tidak boleh diwakilkan atau digantikan oleh orang lain[6].
2. Berdasarkan al-Qur’an surat al-Najm,39:Allah berfirman: وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
(bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang hanya akan dapat pahala jika
ia sendiri yang melakukannya. Karena itu amal ibadah yang dilakukan
untuk atau atas nama orang lain, seperti badal haji, tidak akan ada
manfaatnya. Jadi sia-sia saja.
3. Mengenai
beberapa hadis yang menjelaskan adanya perintah Nabi Saw kepada
sejumlah sahabat untuk melakukan haji atas nama orang tua dan saudaranya
itu, oleh kelompok ulama ini, dinilai tidak shahih secara matan meski
shahih secara sanad. Karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an surat
al-Najm ayat 39 tersebut.
Pendapat
ini didukung oleh ulama Malikiyah. Di Indonesia, ulama yang mendukung
pendapat ini adalah sejumlah ulama Persatuan Islam (Persis) Bangil.[7]
Argumentasi ulama yang memperbolehkan badal haji:
1. Harus
difahami bahwa Nabi Saw memiliki otoritas untuk menetapkan hukum
sendiri selain berdasarkan al-Qur’an. Karena itu tidak semua hadits yang
“terkesan” bertentangan dengan al-Qur’an lalu dinyatakan tidak shahih.
Seperti hadis tentang bolehnya menghajikan orang lain (orangtua atau
saudara) yang dianggap bertentangan dengan surat al-Najm ayat 39 yang
menerangkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali atas
usahanya sendiri. Dalam kajian Ushul Fiqh dikenal adanya “takhshis”,
yaitu pembatasan atau pengecualian terhadap ketentuan yang bersifat
umum. Takhshis ini bisa berupa al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dan bisa
juga al-Qur’an dengan al-Hadis. Sebagai
contoh QS. Al-Maidah,3 (tentang: diharamkan atas kamu bangkai, hewan
yang mati tanpa disembelih). Oleh Nabi Saw kemudian di “takhshis”,
dibatasi dengan mengecualikan bangkai ikan dan belalang (HR.Ahmad, Ibn
Majah dan al-Baihaqi. Al-Albani menilainya shahih). Kalau orang tidak
memahami sunnah atau hadis, maka akan mengatakan bahwa semua bangkai
adalah haram berdasarkan ayat al-Qur’an tersebut. Tetapi, karena
memahami adanya sunnah atau hadis yang berfungsi menjelaskaan al-Qur’an
dan juga mengecualikan keterangan yang bersifat umum, maka bisa difahami
bahwa semua bangkai haram kecuali yang dikhususkan oleh Nabi saw, yaitu
bangkai ikan dan belalang.
Demikian
juga tentang ayat yang menerangkan bahwa seseorang tidak akan dapat
pahala kecuali dari usaha amalnya sendiri (QS. Al-Najm, 39). Oleh Nabi
Saw, ayat yang bersifat umum tersebut dikecualikan dengan amalan badal
haji, menghajikan
orang yang telah meninggal (yang belum haji) atau menghajikan orang
yang sudah tak mampu melaksanakannya (secara fiik) disebabkan oleh suatu
udzur, seperti sakit yang tak ada harapan sembuh. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ini berarti bahwa badal haji itu dibenarkan menurut syariat.
2. Jika
ada hadis yang menerangkan bahwa amal manusia itu akan terputus
bilamana telah maninggal kecuali tiga hal (amal jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shaleh yang mau mendoakannya) HR. Muslim. Maka yang
terputus adalah usahanya sendiri, sementara usaha atau amalan orang lain
masih bisa bermanfaat baginya seperti doa dan lain sebagainya. Adapun
al-Qur’an surat al-Najm,39 yang menerangkan bahwa manusia tidak akan
dapat pahala selain dari amal usahanya sendiri, maka anak yang
menggantikannya untuk badal hajinya adalah merupakan usaha orang tuanya.
M. Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa:كان الولد من سعى الوالد , anak itu adalah merupakan usaha orang tuanya[8]. Karena itu badal haji yang dilakukan anaknya bisa dianggap sebagai bagian dari usahanya sendiri.
3. Sebagian
besar ulama madzhab mendukung pendapat tentang bolehnya melaksanakan
badal haji, seperti ulama Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah. Sementara
ulama kontemporer yang mendukung bolehnya melakukan badal haji antara
lain: Syekh M. Nashiruddin al-Albani, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz, Syekh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin dan para ulama Saudi yang
lain.[9]
بَابُ الْحَجِّ وَالنُّذُوْرِ عَنِ الْمَيِّتِ وَالرَّجُلِ يَحُجُّ عَنِ الْمَرْأَةِ
a. Bab al-hajj wa al-nudzur ‘an al-mayyit wa al-rajul ‘an al-mar’ah (bab tentang haji dan nadzar dari orang yang mati dan haji orang laki-laki untuk perempuan)
باب الْحَجِّ عَمَّنْ لاَ يَسْتَطِيعُ الثُّبُوتَ عَلَى الرَّاحِلَة
b. Bab al-hajj ‘amman laa yasthi’u al-tsubuut ‘alaa al-rahilah (bab tentang haji untuk orang yang tidak mampu duduk di atas kendaraan)
باب الْحَجِّ عَنِ الْعَاجِزِ لِزَمَانَةٍ وَهَِرَمٍ وَنَحْوِهِمَا أَوْ لِلْمَوْت
a. Bab al-hajj ‘an al-‘Ajiz lizamanatin waharamin wa nahwiha au lil maut
(bab tentang haji untuk orang yang lemah dikarenakan sakit yang tak ada
harapan sembuh atau karena ketuaan, dsb atau karena kematian).
Judul-judul
bab yang ditulis dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim tersebut
menunjukkan bahwa Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang dikenal sebagai
syekh ahli hadis yang paling disegani di kalangan para pemerhati hadis
lebih cenderung pada pendapat bahwa badal haji itu disyariatkan.
Wallahu A’lam !
sumber rujukan :http://zuhdidh.blogspot.com/2011/07/hukum-badal-haji.html
Tiada ulasan:
Catat Ulasan